1.
PENDAHULUAN
Dalam
pembangunan fisik bangsa dan negara, peranan para pakar TEKNIK SIPIL merupakan
hal yang krusial dan tidak terelakkan. Dapat dikatakan ENGINEER CIVIL merupakan salah satu pilar utama dalam
membangun kekayaan fisik suatu bangsa. Karena itu Engineer selalu dituntut
untuk bersikap kritis, efisien dan kompetitif. Sungguh tantangan profesi yang
menarik, namun harus kita akui bahwa tidak mudah untuk menjalaninya. Banyak
sekali hambatan-hambatan non teknis yang dihadapi.
Kelangkaan
proyek, ketiadaan lapangan kerja yang menarik dan memadai, akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan, perubahan dalam tatanan kehidupan nasional dan
dunia dengan laju yang sangat cepat, tuntutan kebutuhan materi yang semakin
meningkat, mengakibatkan banyak Engineer yang meninggalkan profesinya. Dunia
profesi dan berbisnis dalam bidang lain nampak lebih menjanjikan… Rumput di
rumah tetangga nampak lebih hijau ……..
Mungkin
tidak salah kalau dikatakan bahwa semasa sekolah dahulu, kita yang bersekolah
dalam bidang Ilmu Pasti dan kuliah dalam bidang teknik, pada umumnya, sadar
atau tidak, merasa lebih ‘pandai’ dari teman-teman yang bersekolah dibidang
ilmu-ilmu sosial dan ekonomi. Kini, dalam kenyataannya, banyak engineer yang
ramai-ramai exodus keluar dari dunia teknik dan mencari nafkah di bidang yang
jauh dari ilmu-ilmu teknik yang notabene telah ditekuninya bertahun-tahun.
Sementara
yang tetap bertahan, baik karena cinta pada profesinya ataupun karena tidak
punya pilihan lain, terpaksa berkecimpung dengan segala realitas permasalahan
non teknis yang sering terasa tidak enak untuk dihadapi.
2.
PERMASALAHAN
Profesi
seorang Engineer, baik dalam dunia teknik sipil, struktur ataupun geoteknik,
mengalami banyak sekali permasalahan dan hambatan (Worsak, 2000; Chiang
A.,2003), diantaranya:
• Produk
seorang Engineer sangat unik. Sangat sukar untuk membandingkan karya dua orang
Engineer secara adil dan objektif. Namun seringkali pekerjaan atau proyek
didapat melalui ‘koneksi’. Seorang engineer yang dapat bersikap ’manis dan
menyenangkan’ mendapatkan kesempatan dan proyek yang lebih banyak daripada
Engineer yang bersikap tegas dan objektif.
• Faktor
keamanan yang tinggi dan penerapan peraturan-peraturan konstruksi (code)
membantu ‘menyembunyikan’ engineer yang berkemampuan kurang. Teori/teknik
canggih dan terbaru sangat jarang diterapkan dalam praktek.
• Peraturan
(code of practice), keterbatasan waktu dan peralatan canggih mematikan
kreativitas, sering kali Engineer hanya menjadi operator yang hanya mengulang
apa yang sudah pernah ada dan sudah pernah dikerjakan.
• Banyak
Engineer, terpaksa ataupun tidak, menjadi ”yes-man” yang melakukan segala
permintaan para investor / pemilik proyek. Sering kali Engineer hanya menjadi
‘alat’ sang investor, (dengan terpaksa atau tidak) merencanakan dan membangun
proyek yang sesungguhnya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan tatanan
kehidupan sosial.
• Engineer
tidak mampu mempresentasikan aspirasi dan pengetahuannya terhadap para
investor. Sebaliknya, sang Arsitek dan/atau Pemilik Modal jauh lebih mampu
mempresentasikan kehendaknya, sekalipun hal itu diluar pengetahuannya. Engineer
bekerja, orang lain yang mendapatkan pujian.
• Karir
seorang Engineer di negara berkembang berumur pendek. Katanya: Tidak ada yang
tidak dapat dikerjakan Engineer kecuali tetap bekerja dalam bidang Engineering!
(Nothing under the sun engineers cannot do, except continuing to do
engineering!). Pekerjaan lain lebih menjanjikan, mengapa tidak??
• Diluar
Engineering, pengetahuan Engineer sering kali sangat terbatas. Di era
gobalisasi ini pengetahuan akan Engineering saja tidaklah cukup!
• Proses
tender yang selalu mencari penawaran terendah membawa dampak yang merusak.
Sistem tender yang menciptakan suasana sangat-sangat kompetitif itu membuat
Engineer bergulat demi mempertahankan kelangsungan profesi dan perusahaannya.
Sang Engineer tidak hanya membanting tulang, tetapi juga banting membanting
harga dan sering kali kualitas terpaksa menjadi korban. Pemilik perusahaan
terpaksa menekan honor Engineer. Pada gilirannya suasana ini akan mematikan
Kreativitas dan Etika sang Engineer. Atau paling tidak, memaksa sebagian besar
Engineer meninggalkan dunia Engineering.
Singkatnya, kecuali kita selaku Engineer bersedia berubah, mengubah sikap kita
terhadap permasalahan ini, maka pada akhirnya kita hanya menjadi KOMODITI dalam
dunia konstruksi dan tidak lagi sebagai Engineer yang bernilai dan
ber-kredibilitas tinggi apalagi sebagai Pilar Pembangunan Bangsa dan Negara.
Dan, yang
lebih menyedihkan, kata-kata sejenis ini terdengar dari mulut beberapa engineer
yang notabene cukup punya nama: “Kalau aku tahu profesi ini akan seperti ini
jatuhnya, mendingan aku jualan bakmi saja dari dahulu. Aku sudah bilang
anak-anak, jangan sekolah teknik sipil, cari bidang lain saja”. Nah loh….,
kalau demikian bukankah nantinya Engineer akan sulit dicari?
“Bagus,
dong. Dengan demikian harga Engineer akan naik.” Demikian kata sebagian
Engineer. Apa kita harus menunggu hal seperti itu terjadi untuk menaikkan nilai
(value / harkat) seorang engineer???
3.
SOLUSI-NYA?
Dalam
pembicaraan-pembicaraan sesama Engineer sering kali terdengar kata-kata:
“Problem sudah kita ketahui, bagaimana seorang engineer ideal bersikap juga
sudah kita ketahui. Namun apa yang bisa kita lakukan? Sistemnya memang sudah demikian!
Semua hal memerlukan dana, memasang tarif tertentu untuk menaikkan engineering
fee? Percuma! Akan dilanggar juga oleh sesama Engineer!”
Tidak bisa
dipungkiri, persoalan yang pada akhirnya terkait pada masalah uang ini, atau
meminjam istilah anak-anak muda sekarang: UUD = Ujung-Ujungnya Duit, memang
sangat peka dan sulit. Namun, fakta juga tidak bisa dipungkiri, bahwa kita
perlu dan memerlukan perubahan… tentunya ke arah yang lebih baik.
Nothing is
constant, only the changes is constant! Tidak ada yang abadi, yang abadi
hanyalah perubahan. Dr. J. Spencer dalam bukunya Who Moved My Cheese menekankan
pentingnya mengantisipasi dan proaktif terhadap perubahan. Old beliefs do not
lead you to new cheese, the quicker you let go of old cheese, the sooner you find
new cheese. Dengan kata lain: keyakinan lama tidak akan membawa kemajuan.
Semakin cepat kita melepaskan keyakinan lama, semakin cepat kita menuju hal-hal
baru.
Dalam
kesempatan ini, penulis ingin mengajak teman-teman se-profesi untuk mengkaji
permasalahan-permasalahan diatas dan memikirkan langkah-langkah yang bisa kita
lakukan, baik secara individu maupun selaku anggota komunitas Engineer, demi
kemajuan profesi kita bersama yaitu selaku: Engineer. Tanpa ber-pretensi lebih
tahu, di bawah ini penulis ingin memberikan beberapa sumbang saran…
3.1 ETIKA
Penulis
pernah membaca literatur yang membahas masalah Etika Profesi, disana dibahas
bagaimana kata-kata Etika, yang dalam bahasa Inggris itu ditulis ETHICS,
diuraikan huruf per huruf menjadi jabaran kode etik profesi yang sangat menarik
dan yang bisa mengangkat harkat profesi kita. Dibawah penulis menyajikan
bahasan tersebut yang penulis sesuaikan untuk profesi Engineering yang kita
geluti bersama ini,
E =
Excellence = Keunggulan
Selaku
profesional, seorang Engineer, harus bersikap terus menerus memperbaiki
pengetahuannya, selalu mencari solusi yang terbaik. Tidak boleh bergantung
kepada code of practice secara membuta. Engineer tidak boleh bersikap pasif,
melainkan harus pro-aktif untuk beradaptasi dengan era globalisasi yang serba
cepat ini. Engineer yang tidak selalu pro-aktif memperbarui diri dengan
pengetahuan dan teknologi baru akan tertinggal jaman.
Dalam era
globalisasi ini hanya bermodalkan disiplin pengetahun Engineering itu sendiri
tidaklah cukup, seorang Engineer perlu melengkapi dirinya dengan pentetahuan
dasar akan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, keuangan, humas, dan lain-lain yang
terkait dengan pekerjaannya. Pengetahuan dan keahlian mana diperlukan untuk
secara efektif mengkomunikasikan proses engineering. Untuk menganalisa, untuk
berpikir secara lateral (dalam keterkaitan dengan bidang diluar engineering)
dan vertikal (dalam bidang engineering secara mendalam), men-sintesa,
memformulasikan permasalahan, dan menyelesaikannya.
T =
Trustworthy = Terpercaya
Pengetahuan
Engineering merupakan pengetahuan yang sangat khusus, tidak banyak orang yang
menguasai disiplin ilmu ini. Karenanya seorang Engineer harus mempunyai
kebanggaan diri dalam merefleksikan kepercayaan. Setiap kata dan tindakan dalam
menjalankan profesi-nya harus dapat diandalkan. Seorang Engineer wajib
memberikan dan menerapkan solusi yang terbaik yang diketahuinya. Sesama
Engineer harus juga bisa saling menghormati, saling dipercaya dan mempercayai.
Serta tidak saling menjatuhkan satu sama lain.
H = Honesty
= Kejujuran
Agar dapat
dipercaya seorang Engineer harus jujur terhadap profesinya, terhadap diri
sendiri, terhadap sesama Engineer dan terhadap client-nya.
Diperlukan sikap lapang dada dalam menerima saran dan kritik dari sesama
Engineer demi kemajuan bersama. Jujur dalam mengemukakan keuntungan dan
kerugian alternatif-alternatif solusi yang diajukannya.
Kejujuran
merupakan pangkal dari prilaku etikal. Kejujuran berarti mengatakan sesuatu apa
adanya. Kejujuran berarti selalu menjaga untuk tidak membohongi orang lain,
baik secara sengaja ataupun dengan bersikap diam. Contoh: Bilamana sang
Engineer bahwa solusi dengan menggunakan suatu teknik perbaikan tanah merupakan
solusi yang terbaik dan termurah, namun sang Engineer bersikap diam karena
solusi tersebut berarti pekerjaan akan jatuh ke tangan Engineer lain. Sebuah
dilemma bukan? Namun, disinilah sikap etikal itu akan sangat menentukan.
Kejujuran
juga berarti bersikap adil, menerima dan memberi apa yang menjadi hak orang
lain, menerima kewajiban dan menolak hal-hal yang tidak merupakan hak dan yang
berada diluar otoritas-nya. Menerima dan mengerjakan tugas yang memang bisa
dikerjakannya, dan tidak mengerjakan tugas yang berada diluar bidang
keahliannya. Walaupun sering kali kita ditempatkan dalam kesulitan untuk
bersikap jujur sejujur-jujurnya, namun bila kita selaku Engineer dapat menjaga
dan memelihara sikap jujur tersebut, maka pada akhirnya akan mengangkat nilai
sang Engineer dan profesi Engineering itu sendiri.
I =
Integrity = Integritas
Engineer
selayaknya menjunjung tinggi integritas pribadi dan bidang keahliannya dengan
berlaku tegas dan tegar terutama sekali dalam menegakkan dan menerapkan
pengetahuannya. Keputusan seyogyanya diambil dengan juga mempertimbangkian
dampak lingkungan dan tidak semata-mata demi kepentingan pribadi dan/atau
pemberi tugas. Berani menegakkan integritasnya dengan jalan mengedepankan
kepentingan umum dan menolak segala bentuk insentif dan paksaan yang bisa
mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Keputusan
hendaknya diambil dengan tidak mengutamakan keuntungan materi, tetapi
berdasarkan pertimbangan engineering dan dampak lingkungan. Bilamana diperlukan
harus dapat mengatakan: “Tidak” kepada pemberi tugas. Tidak bersikap menjadi
“Yes-man” dan tidak mengambil sikap asal “menyenangkan” pemberi tugas. Tentunya
disini diperlukan teknik penyampaian kata TIDAK yang baik. Jelas bahwa Engineer
juga memerlukan pengetahuan Human Relation.
Integritas
berarti tidak saja bersikap jujur tapi juga berarti tahan untuk tidak bersikap
korup. Engineer dengan integritas tinggi mengerjakan dan berkata benar,
sekalipun hal itu berakibat kehilangan proyek. Tentunya cobaan untuk bersikap
seperti itu sangatlah besar, semakin besar nilai proyek semakin sulit mengambil
sikap dengan integritas tinggi. Menolak terlibat dalam proyek yang nyata-nyata
diketahui berdampak negatif namun bernilai besar merupakan cobaan yang sangat
besar terhadap Integritas sang Engineer. Namun, itulah essensi dari nilai
Integritas.
Diperlukan kemampuan
komunikasi yang tinggi untuk bersikap jujur dan ber-integritas,
karenapengetahuan Engineering saja tidaklah cukup, diperlukan pengetahuan human
relation dan sedikit psychology.
C = Caring =
Perduli
Setiap buah
karya Engineer seyogyanya juga dilandasi dengan pemikiran yang berdasarkan
keperdulian terhadap lingkungan dan masyarakat. Berusaha agar dampak negatif
terhadap lingkungan dan masyarakat sekecil mungkin. Dan sebaliknya agar
karyanya itu bahkan berdampak positif terhadap kehidupan. Disinilah letak
keanggunan dari karya sang Engineer.
Ini berarti
bersikap perduli. Bekerja tidak hanya bermotifkan kepentingan pribadi dan
kepentingan pemberi tugas tetapi juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat
luas dan lingkungan.
Perduli
terhadap kepentingan rekan-rekan se-profesi. Sikap memper-timbangkan
kepentingan rekan se-profesi pada akhirnya akan membawa dampak positif terhadap
profesi engineering itu sendiri.
Abraham Lincoln berkata: Orang yang membiarkan kesalahan berlalu dihadapannya,
sama salahnya dengan orang yang membuat kesalahan.
S =
Selflessness = Tidak Egois
Tidak
bersikap egois, tidak mengedepankan kepentingan diri pribadi. Tidak bersikap
seperti economic animal yang menilai semua dari sudut kepentingan ekonomi
semata.
Enam huruf
ETHICS yang dijabarkan sebagai akronim dari enam kata: Excellence, Trustworthy,
Honesty, Integrity, Caring dan Selflessness itu saling kait mengait, merupakan
suatu kesatuan kode etik prilaku yang tidak mudah dijalankan.
Bersikap
etikal seringkali memerlukan sebuah harga yang mahal, menimbulkan kerugian
jangka pendek, tidak jarang membawa sang Engineer dalam posisi berhadapan
terhadap pemberi tugas, terhadap sesama rekan seprofesi, terhadap atasan,
bahkan terhadap anggota keluarga kita yang tidak bersedia menanggung kerugian
materi akibat mengedepankan etika. Tekad saja tidaklah cukup. Tanpa tindakan,
semua maksud baik tinggal maksud dan tidak bermakna sama sekali. Diperlukan
keberanian dan ketegasan untuk bertindak etis. Walaupun ada kerugian jangka
pendek, namun keberanian menegakkan prinsip-prinsip etika pada akhirnya akan
memenangkan rasa hormat rekan seprofesi, atasan, pemberi tugas dan juga anggota
keluarga sang Engineer.
Engineer
tidak boleh membiarkan dirinya dipergunakan sebagai alat dari pemberi tugas
atau alat dari profesi lain, tetapi harus memposisikan diri kita untuk menjadi
pemikir, pemecah permasalahan(problem solver), dan salah satu leader dalam
masyarakat.
3.2 HOW TO
SELL OURSELVES ?
Era
globalisasi membawa perubahan tatanan sosial yang amat cepat dan dunia ekonomi
yang semakin kompetitif. Teknologi internet membuat dunia semakin kecil, email,
world wide web, internet phone dan video conferencing membuat Engineer dapat
melakukan tugasnya dari mana saja, tanpa perlu melakukan banyak tatap muka
langsung. Ini berarti persaingan dengan Engineer dari luar negeri juga semakin
terbuka lebar. Jelas bahwa dunia Engineering yang menjadi salah satu pilar
penting dalam pembangunan bangsa dan negara juga mengalami dampak yang sangat
besar, baik dari segi teknologi maupun dalam sisi ekonomi.
Di suatu
sisi perkembangan teknologi dan kompetisi ketat membawa dampak positif dalam
peningkatan efisiensi. Namun, TERLAMPAU KOMPETITIF, membawa dampak negatif,
membuat sebagian besar Engineer mengambil posisi survival dengan akibat marjin
keuntungan yang terlampau rendah atau bahkan tanpa keuntungan, tidak bisa
berinvestasi untuk belajar, apalagi berinvestasi untuk teknologi dan peralatan
baru. Bila keadaan seperti ini terus berlangsung, pada saatnya nanti (atau
bahkan sekarang sudah terjadi?), Engineer local betul-betul hanya akan menjadi
‘alat’ dari para pemilik modal, ‘pembantu’ dari para konsultan luar negeri.
Kasarnya, mengutip apa pernah terlontar dari mulut seorang konglomerat dan
seorang pemilik alat-alat berat: “Sebenarnya, kalian Engineer sama saja dengan
kuli, hanya bedanya kalian adalah kuli pintar yang tidak bisa berbisnis.”
Sepintas terasa sangat-sangat menyinggung dan merendahkan. Namun, bila sejenak
kita melepaskan professional pride kita selaku Engineer dan melihat bagaimana
banyak dari antara kita bersikap saling membanting harga, dan untuk men-justify
tindakan itu kita berkata: “Habis bagaimana lagi? Sistemnya sudah begitu? Kalau
kita tidak mau ada orang lain yang mau!” atau “Membuat kartel? Melangggar etika
bisnis! Menentukan harga? Percuma akan dilanggar sendiri!”
Terasa
sekali ada hal yang sangat kurang disini? Apa yang kurang? Kasarnya, seperti
kata sang konglomerat tadi: Engineer tidak bisa berbisnis! Halusnya, seperti
yang penulis kutip dari kalangan agen asuransi jiwa (profesi yang sering kali
dijauhi orang dan bahkan sering dianggap pes), kita harus belajar: How to sell
ourself (with pride and honor)? Yah, Bagaimana kita menjual diri kita? (maaf,
jangan diartikan menjual diri seperti pelacur). Intinya adalah bagaimana kita
memposisikan diri dalam menjual jasa kita, dengan kebanggaan dan secara
terhormat?
Tengoklah,
Mengapa dokter bisa menetapkan harga tanpa ditawar? Karena mereka berurusan
dengan jiwa manusia sehingga pasiennya tidak berani menawar. Baik, lalu bagaimana
dengan notaris? Bagaimana dengan salon, bengkel mobil, super market dll? Apakah
persaingan mereka kurang ketat? Oh, itu karena konsumen mereka jauh lebih luas,
demikian jawab kita. Benarkah?? Sebagai masukan: Penulis pernah mendampingi
beberapa orang businesman dalam berbisnis, satu jenis sisir wanita dibeli
dengan harga S$0.8 atau sekitar Rp. 4.000,- di supplier dari Singapore, dalam
grosiran dijual dengan harga Rp. 18.000,- di Jakarta, tiba di department store
harga menjadi Rp. 28.000,-? Kita lalu berdalih, karena dia tidak ada saingan,
coba tengok ke Pasar Pagi, Mangga Dua, banyak sekali toko yang menjual sisir
itu!! Contoh lain: Berapa biaya yang kita keluarkan setiap kali membetulkan ac
mobil kita? Agar diketahui penulis melihat dengan mata kepala sendiri salah
satu spare part dengan modal dasar sekitar Rp. 80.000,- dibeli via Singapore,
bisa dijual dengan harga Rp. 250,000.- di bengkel!! Masih kurang yakin? Berapa
harga sebotol coca cola di super market? Dan berapa harga minuman yang sama di
hotel berbintang lima?? Toh, tetap saja orang datang dan minum disana.
Ingin contoh
dari dunia kita sendiri? Konsultasi perbaikan tanah, satu orang engineer bisa
mendapatkan dengan harga Rp. 60.000.000,- sementara untuk pekerjaan yang sama
engineer lain mengerjakan dengan harga 7 kali lipat dibawah itu. Padahal harga
yang 60 juta itu sudah didapatkan SPK via tender.
Mengapa?
Jelas sekali ada yang kurang pada diri kita. Apa? Kembali kepada ucapan dari
kalangan agen asuransi jiwa: HOW TO SELL OURSELF? Kita perlu belajar Selling
Tehcnique atau teknik menjual. Kita perlu belajar Professional Salesmanship.
Intinya: Bagaimana kita memposisikan diri, bagaimana kita menilai diri kita
sendiri, bagaimana kita menjual jasa kita berdasarkan apa yang disebut SPIN –
Situation, Problems, Implication dan Needs Pay-off. Suatu teknik menjual dengan
memahami situasi, problem yang dihadapi client, implikasi dari problem yang
dihadapinya, dan manfaat dari solusi yang ditawarkan. Jelasnya bisa dibaca dari
buku: SPIN Selling (Rackham N., 1995).
3.3
PENDIDIKAN ENGINEERING
Dalam hemat
penulis, pendidikan Engineering juga harus dikaji ulang. Tidak cukup dengan
hanya mengajarkan materi engineering itu sendiri. Mendidik tidak sama dengan
mengajar. Mendidik membawa konotasi peningkatan kualitas mental dan cara
berpikir, tidak hanya materi pelajaran. Karena itu perlu sekali para calon
Engineer dididik dengan etika moral. Dan dilengkapi juga dengan dasar-dasar
ilmu ekonomi dan hubungan masyarakat. Dengan demikian diharapkan Engineer tidak
menjadi komoditi, alat atau pengikut investor, tetapi menjadi Engineer yang
mempunyai kemampuan sebagai Komunikator, Penerap teknologi maju, Inovator, dan
salah satu Leading Factor dalam pembangunan. Dan dalam skala kecil, yang mampu
hidup dari dunia engineering dan tidak akan meninggalkan dunia engineering itu
sendiri hanya karena dunia lain lebih menjanjikan secara keuangan.